Deli Serdang | GarisPolisi.com – Proses eksekusi lahan seluas ±102 hektar di Desa Sena, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Kamis (9/1/2025), berlangsung ricuh. Puluhan warga berusaha menghadang tim juru sita Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang tengah membacakan surat eksekusi pengosongan lahan dan pembongkaran bangunan di atas tanah yang masih dalam sengketa hukum. Kericuhan tersebut memaksa aparat kepolisian mengamankan beberapa warga.
Eksekusi ini dikawal ketat oleh puluhan personel Polresta Deli Serdang. Namun, pelaksanaan eksekusi menuai penolakan dari warga, yang beralasan bahwa lahan tersebut masih dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Ketegangan memuncak ketika warga yang tidak setuju dengan eksekusi mencoba menghalangi juru sita yang bertugas. Saling dorong dan adu mulut antara warga dan aparat pun tak terhindarkan, bahkan nyaris berujung bentrokan.
Kericuhan akhirnya mereda setelah Ibnu Affan, kuasa hukum warga, memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan gugatan atas lahan tersebut. Warga, meskipun dengan berat hati, akhirnya membiarkan alat berat merobohkan sebuah bangunan milik Iwan Suzila yang berdiri di atas lahan tersebut.
Ibnu Affan menyatakan bahwa eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tidak sah karena melanggar prinsip hukum. Menurutnya, eksekusi hanya dapat dilakukan terhadap perkara yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, tanah yang dieksekusi ini masih dalam proses hukum. "Ini adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh pengadilan," ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa lahan tersebut merupakan tanah adat milik Kesultanan Negeri Serdang. "Penguasaan tanah oleh klien kami, Ricky Prandana Nasution dan H. Jama’uddin Hasbullah, memiliki dasar hukum yang kuat. Tanah ini merupakan eks-konsesi Kesultanan Negeri Serdang dengan perusahaan perkebunan Hindia Belanda pada masa lalu," jelasnya.
Menurut Ibnu, lahan tersebut awalnya merupakan tanah adat Kesultanan Negeri Serdang yang disewakan kepada perusahaan perkebunan Belanda, Senembah Maatschappij, melalui perjanjian pada 9 Agustus 1886. Setelah kemerdekaan Indonesia, tanah itu dimasukkan ke dalam objek nasionalisasi melalui UU No. 86 Tahun 1958 dan dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara.
Namun, kuasa hukum berpendapat bahwa tanah tersebut tidak seharusnya dinasionalisasi karena merupakan milik sah Kesultanan Negeri Serdang, bukan milik perusahaan Belanda. Oleh karena itu, penguasaan tanah oleh PT Perkebunan Nusantara dianggap tidak sah, dan tanah tersebut telah dikembalikan kepada Kesultanan Negeri Serdang.
Kuasa hukum Ricky Prandana Nasution dan H. Jama’uddin Hasbullah berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan hukum. "Kami akan terus melawan melalui gugatan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam hingga keadilan ditegakkan," tegas Ibnu.
Meskipun eksekusi telah dilakukan, konflik atas lahan ini diprediksi masih akan berlanjut, mengingat warga dan kuasa hukumnya tetap mempertahankan klaim bahwa tanah tersebut adalah bagian dari warisan adat Kesultanan Negeri Serdang.
(Red)
0 Komentar